Daftar Blog Saya

Sabtu, 02 April 2011

Pengkajian Mengenai Kekerasaan Terhadap Anak di Kabupaten Sikka dan Ende, NTT

Penulis/Peneliti: Lamtiur H. Tampubolon, Rianto Adi, Elli Nur Hayati, Nur Hasyim

Tahun 2003


Proyek pencegahan kekerasan terhadap anak di Kabupaten Sikka dan Ende ini merupakan bagian dari The District Cooperation Agreement yang ditandatangani antara UNICEF dan Kabupaten Sikka dan Ende untuk tahun 2002-2005. Tujuan dari studi ini adalah: melakukan suatu penilaian yang mendalam (in-depth assessment) terhadap tipe-tipe kekerasan yang dilakukan terhadap anak dan akibat yang ditimbulkan di Sikka dan Ende dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif dengan rekomendasi aksi yang jelas oleh tim konsultan. Rekomendasi ini selanjutnya akan didiskusikan dan diimplementasikan dengan dan oleh district counterparts: pemerintah, LSM, guru, orang tua dan anak-anak. Untuk menjamin kepemilikan proyek oleh masyarakat, perlu komunikasi secara terus menerus dan kerjasama dengan Coalition Against Child Abuse di tingkat kabupaten yang terdiri dari stakeholders yang relevan untuk proyek ini. Pengkajian di Kabupaten Sikka berlangsung dari tanggal 23 Februari hingga 15 Maret 2003. Sedangkan di Kabupaten Ende berlangsung dari tanggal 20 April hingga 16 Mei 2003. Analisis dan penulisan laporan dilakukan di Jakarta dan Yogyakarta.

Dalam studi ini digunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui Focus Group Discussion (FGD), wawancara mendalam, penyebaran kuesioner (Screening Form-SF, Self Check List/SCL-90, Child Behaviour Check List/CBCL - atau Senarai anak), menggambar, dan tes proyektif Family Apperception Test (FAT). Responden dipilih dengan menggunakan simple random sampling (cara lotere).

Tradisi pengasuhan orang tua di Sikka dan Ende terhadap anaknya di rumah menggunakan cara-cara yang menekankan pada prinsip "kepatuhan anak kepada orang tua". anak adalah karunia dan anugerah, namun anak harus menurut dan patuh kepada orang tua, dan apabila membantah atau tidak menurut kata orang tua maka mereka harus "dididik" secara tegas, baik menggunakan cara-cara verbal maupun non-verbal. Para orang tua menganggap hal itu bukanlah sebagai tindakan kekerasan terhadap anak, melainkan cara yang tepat untuk membentuk kepatuhan dan kedisiplinan anak di rumah. Menurut mereka, pola pengasuhan yang semacam itu, selain tidak menimbulkan akibat seperti jatuh sakit, perdarahan atau luka fisik yang lain, juga dilakukan atas dasar kasih sayang, sehingga semua tidak dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak. Para orang tua menggunakan pela pengasuhan yang keras itu dengan alasan bahwa itu merupakan tradisi "keras" orang Indonesia Timur yang telah diterapkan secara turun temurun antar generasi. Mereka meyakini bahwa cara tersebut adalah yang paling efektif untuk membentuk karakter anak di Indonesia Timur (yang sulit diberitahu secara lemah lembut), dan karena memang anak dianggap nakal (membantah, tidak patuh, atau melanggar aturan orang tua/sosial).

Pola interaksi guru dan murid di sekolah memiliki nuansa yang tidak jauh berbeda dengan pola relasi orang tua - anak di rumah, yaitu bahwa guru haruslah dipatuhi dan apabila dilanggar maka murid akan mendapat "pelajaran" yang berupa sanksi kelas maupun sanksi sekolah. Menurut para guru, murid adalah ibarat anak-anak mereka sendiri, namun pelanggaran terhadap tata tertib kelas dan tata tertib sekolah akan diganjar dengan pendisiplinan. "Pendisiplinan" tersebut dapat berbentuk verbal maupun non-verbal, tergantung dari "kesalahan" yang diperbuat murid. Bentuk pendisiplinan anak di tingat kelas (untuk pelanggaran selama jam pelajaran berlangsung di dalam kelas), derajat hukumannya selain dipengaruhi oleh besar kecilnya pelanggaran murid, juga sangat dipengaruhi oleh kepribadian guru yang sedang ada di kelas tersebut. Bentuk pendisiplinan di kelas tidak ada aturannya, tetapi lebih merupakan konsensus para guru mengenai bentuk-bentuk pendisiplinan yang dapat ditolerir oleh sekolah. Untuk pelanggaran di tingkat sekolah, bentuk pendisiplinan atau sanksinya biasanya sudah tertuang dalam Tata Tertib sekolah. Para guru menggunakan berbagai bentuk pendisiplinan terhadap murid dengan alasan bahwa pada dasarnya anak telah terbiasa menerima perlakuan keras di rumah masing-masing. Selain itu, karena memang orang tua mengijinkan guru menghukum anak kalau tidak tertib di sekolah, dan demi untuk menjaga kewibawaan diri guru.

Hasil kajian psikologis membuktikan bahwa lebih banyak anak perempuan yang mengalam symptom gangguan psikologis pada level moderate (sedang) hingga severe (berat) dibandingkan dengan anak laki-laki, padahal anak laki-laki adalah kelompok anak yang lebih sering menerima hukuman pada level sedang hingga berat bila dibandingkan dengan anak perempuan. Hal ini mungkin salah satunya disebabkan oleh fakta bahwa dari segi frekuensi, anak perempuan lebih sering mendapat perlakuan keras daripada anak laki-laki. Tingginya angka kekerasan terhadap anak perempuan menunjukkan adanya ekspetasi yang besar dari orang tua atas anak perempuannya, dibandingkan dengan anak laki-laki, agar mereka rajin (membantu mama melakukan pekerjaan domestik), dan menjadi anak "baik-baik".

Kebanyakan kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan pada kepolisian adalah jenis kekerasan seksual. Dalam pelakasanaannya, dapat dikatakan bahwa proses hukum untuk kasus kekerasan terhadap anak dilakukan secara tidak berbeda dengan proses hukum kasus kriminal lainnya yang dialami oleh orang dewasa. Jadi, tidak ada penanganan kasus kekerasan anak yang menggunakan perspektif anak atau menggunkan proses yang sensitif anak. Terlihat juga aparat hukum masih menjadikan KUHAP dan KUHP sebagai acuan utama dalam memproses kasus kekerasan terhadap anak. Perundangan baru berkaitan dengan Perlindungan Anak belum dijadikan acuan, bahkan sebagian besar aparat hukum belum mengetahui UU tersebut. Di Ende, praktek hukum adat masih dijalankan, termasuk untuk kasus kekerasan terhadap anak. Namun, hukum adat hanyalah menyelesaikan persoalan di tingkat harga diri orang tua, sementara anak tidak tersentuh atau mendapat keuntungan apapun atas pelaksanaan hukum adat itu. Mereka tetap akan mengingat kekerasan yang menimpanya sebagai sebuah pengalaman buruk dan mungkin menyebabkan trauma yang dipendam sendiri, atau mendapat stigma dari orang-orang di sekitarnya sebagai perempuan yang pernah mengalami sesuatu yang memalukan.

Di dasarkan pada temuan, tim kajian kekerasan terhadap anak merekomendasikan 6 program besar yang perlu dikembangkan di kedua kabupaten, yakni: (1) Peningkatan Kesadaran Masyarakat: kampanye pendidikan dan kampanye Ant Kekerasan Terhadap Anak; (2) Pendidikan dan Pelatihan bagi Masyarakat: ceramah, diskusi, dialog publik, dan kajian serta pelatihan pencegahan kekerasan terhadap anak; (3) Penguatan Respon Medis: pengembangan kapasitas untuk tenaga medis yang sensitif anak dan berpihak pada hak-hak anak korban kekerasan; (4) Penguatan Respon Hukum: pengembangan sistem pelayanan hukum yang sensitif anak; (5) Pendampingan Korban: pengembangan kapasitas bagi tenaga-tenaga pendamping (konselor dan para konselor), pembentukan lembaga layanan pendampingan anak korban kekerasan (Child Crisis Centre), pembentukan pos-pos pengaduan dan pengawasan yang berbasis komunitas; (6) Jejaring (networking): forum pertemuan jaringan, pengembangan mekanisme pelaporan dan monitoring kasus.

Untuk menjamin agar aksi yang dibentuk akan terus berkelanjutan (sustainable), maka perlu dipikirkan bahwa aksi yang akan dikembangkan dengan pihak-pihak terkait (stakeholders) yang telah teridentifiksi itu berada dalam kerangka besar "program aksi berbasis komunitas". Artinya, program aksi ini tidak semata-mata dikendalikan dan dikontrol oleh pemerintah, melainkan melibatkan secara penuh elemen masyarakat di tingkat akar rumput, sejak dari proses perencanaan, implementasi, monitoring hingga evaluasinya. Jadi perlu diusahakan agar jangan sampai ada kesan umum bahwa Komite Anti Kekerasan Terhadap Anak yang telah terbentuk, dan dalam hal ini starting pointnya melalui BAPPEDA, diterima oleh masyarakat sebagai forum yang dikoordinasi oleh "Pemerintah".

Dari analisis terhadap pihak-pihak terkait, dapat diketahui bahwa ada banyak pihak yang dapat dijadikan potensi lokal di masing-masing kabupaten. Namun, ada satu pihak yang memang belum dibahas perannya dalam analisis tersebut yaitu: media. Baik di Kabupaten Sikka maupun Ende ada "Pos Kupang", "Flores Pos", dan khusus untuk Ende ada "Dian". Sebenarnya media ini dapat diajak untuk turut serta berperan dalam pemantauan kasus-kasus tersebut. Berita-berita yang dimuat di kedua harian tersebut, pemaparan beritanya terkadang terlalu "kasar" (vulgar) dan belum berpihak pada korban (anak). Meskipun demikian, keterlibatan media ini harus dipertimbangkan di masa yang akan datang.